Home | Sitemap | Login

   

Peatland News

Title: Potensi Ekonomi Sagu-Jelutung Tak Bisa Tandingi Sawit
Date: 02-Dec-2016
Category: Indonesia
Source/Author: Tribunnews.com
Description: TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Potensi tanaman sagu dan jelutung secara ekonomi tak akan mampu menandingi kelapa sawit apabila tanaman tersebut sama-sama dibudidayakan di lahan gambut.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Potensi tanaman sagu dan jelutung secara ekonomi tak akan mampu menandingi kelapa sawit apabila tanaman tersebut sama-sama dibudidayakan di lahan gambut.

Oleh karena itu, Badan Restorasi Gambut (BRG) diminta tidak mengarahkan petani untuk menanam sagu dan jelutung di lahan gambut.

“Jelutung maupun sagu memang cocok ditanam di lahan gambut, tetapi potensi ekonominya tetap jauh di bawah sawit. Jadi kebijakan BRG itu perlu dipertanyakan, karena baik jelutung maupun sagu itu secara ekonomi tidak feasible,” ujar Guru Besar Ilmu Tanah Universitas Sumatera Utara, Abdul Rauf di Jakarta, kemarin.

Menurutnya, dalam merumuskan kebijakan, hendaknya BRG melihat secara komprehensif. Walaupun budidaya sagu maupun jelutung tersebut sukses, belum tentu bisa menyejahterakan masyarakat. 

Alasannya, pasar atau permintaan akan pati sagu dan getah dari kayu pohon jelutung saat ini masih kecil. Sehingga dengan demikian harganya pun dipastikan akan murah.

“Itu dari sisi pasar. Belum yang dari sisi teknologi untuk mengolah pati sagu dan getah kayu jelutung saat ini juga belum siap. Intinya, perlu dana besar untuk mengembangkan kedua komoditas ini sehingga hasilnya bisa feasible,” kata Abdul Rauf.

Abdul Rauf menyarankan kepada pemerintah agar fokus saja pada komoditas yang selama ini telah terbukti memberikan kontribusi besar bagi bangsa ini sehingga tidak coba-coba mengembangkan tanaman lain yang belum tentu berhasil.

“Jadi jangan khawatir kalau tanam sawit di lahan gambut, gambutnya akan terbakar. Buktinya ada kebun sawit di lahan gambut tapi tidak terbakar dan produksinya sangat bagus,” katanya.

Dia memberi contoh perkebunan sawit di lahan gambut di daerah Pesisir Timur, Sumatera Utara. Di daerah ini, kata Abdul Rauf, ada ratusan ribu hektare (ha) kebun sawit di lahan gambut telah dikembangkan petani dan korporasi sejak 100 tahun hingga saat ini.

“Gambut di sana tidak terbakar kok,” katanya.

 

Sementara itu, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung mengatakan pada dasarnya tanaman apapun dapat dikembangkan di lahan gambut dengan teknologi ekohidro farming.

Sebagaimana Undang-Undang No 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, petani bebas memilih tanaman apapun yang menguntungkan baginya.

“Saat ini pilihan petani ya sawit yang menguntungkan menurut petani. BRG dan siapapun harus menghormati pilihan petani itu,” kata Tungkot.

Menurutnya, sagu dan jelutung belum ada bukti emperis menguntungkan petani. Buktinya, kata Tungkot, tidak ada petani yang mengembangkan kedua tanaman itu.

“BRG perlu membuktikan secara emperis bahwa sagu dan jelutung menguntungkan petani. Jika untung petani pasti pilih,” katanya.

Menurut Tungkot, saat ini pasar untuk sagu dan jelutung belum ada atau tidak terjamin. Kondisi ini tidak seperti sawit di mana saja dan kapan saja petani dengan mudah bisa menjual TBS (tandan buah segar).

Setiap minggu petani panen dan bisa menjual TBS sehingga tersedia pendapatannya untuk membiayai keluarganya. Pendapatan tiap pekan tersebut berlangsung sampai 25 tahun ke depan.

“Apakah sagu atau jelutung mampu mengimbangi sawit dalam menghasilkan income seperti sawit tersebut? Belum dan tidak akan mampu,” tandas Tungkot.

Hingga saat ini Tungkot juga tidak melihat adanya industri pengolahan pati sagu dan getah pohon jelutung. Sebab memang penggunaan pati sagu maupun getah pohon jelutung tersebut belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat.

Itulah mengapa pasar sagu maupun jelutung ini sangat kecil dan terbatas. Hingga saat ini pun, di dunia tidak ada yang mengembangkan secara komersial kedua komoditas tersebut.

“Kalau BRG mengajak petani tanam sagu dan jelutung berarti ajak petani ke jurang kemiskinan. Karena saat ini hanya sawitlah yang pasarnya sangat besar,” tukas Tungkot.



[ Back ] [ Print Friendly ]