Home | Sitemap | Login

   

Peatland News

Title: Restorasi Gambut Bikin Resah Petani Sawit
Date: 23-Dec-2016
Category: Plantations on peat
Source/Author: Sawit Indonesia
Description: Hampir setahun Badan Restorasi Gambut (BRG) berdiri, namun institusi yang bertugas mengembalikan fungsi lahan gambut seperti semula ini belum melakukan sosialisasi secara merata kepada masyarakat. Akibatnya, masyarakat merasa khawatir apabila sewaktu-waktu lahan mereka dinilai salahi aturan dan diambil alih oleh pemerintah.

Hampir setahun Badan Restorasi Gambut (BRG) berdiri, namun institusi yang bertugas mengembalikan fungsi lahan gambut seperti semula ini belum melakukan sosialisasi secara merata kepada masyarakat. Akibatnya, masyarakat merasa khawatir apabila sewaktu-waktu lahan mereka dinilai salahi  aturan dan diambil alih oleh pemerintah.

“Karena infonya nggak jelas, jadi membuat masyarakat ketakutan. Mereka beranggapan lahan sawit di wilayah gambut akan direstorasi seluruhnya kemudian dikembalikan fungsinya sebagai hutan. Keterbatasan info juga membuat perusahaan tidak serius mengurusi lahannya,” jelas Guru Besar Ilmu Tanah Universitas Sumatera Utara Abdul Rauf dalam diskusi public gambut yang diselenggarakan di Jakarta , pada akhir November 2016.

Padahal, kata Abdul Rauf, restorasi gambut di lahan sawit bisa menganggu perekonomian petani yang sudah lama menggantungkan hidupnya pada usaha ini. Akibat lainnya, sosialiasi yang tidak merata juga bisa memunculkan kesalahpahaman dan berlanjut pada perseteruan antar kelompok.

“Masyarakat kalau mau jujur dipertaruhkan hidupnya, siapa yang berani membongkar lahan, apa BRG berani membongkar lahan akan berhadapan dengan orang-orang yang terganggu perut dan kehidupannya. Semua bisa saja terancam, bila lahan sawit digambut dirubah seenaknya,” ungkapnya.

Kebijakan restorasi gambut juga bisa menganggu perekonomian nasional, lantaran pasar sawit sudah terbentuk secara baik dan berdampak signifikan terhadap ekonomi petani. “Pasar sawit sudah terbentuk, teknologi sudah tersedia dan petani sawit hidup sejahterah. Walaupun mereka nggak lulus sekolah, bisa membantu kesejahteraan petani. Apalagi, sawit memberikan devisa cukup besar bagi negara dibandingkan minyak sawit, komoditas ini menduduki posisi ke-4 sebagai penyumbang pendapatan nasional,” jelas dia.

Oleh karena itu, ia meminta pemerintah berpikir ulang soal aturan restorasi gambut yang seakan-seakan bersikap antisawit. Isu yang menyebutkan sawit sebagai biang keladi penyebab kebakaran sebagai sesuatu yang tidak beralasan. Sebab, apabila perusahaan sawit sengaja membakar lahan justru akan mengalami banyak kerugian, karena lahan itu sudah memasuki masa panen, kemudian kebakaran itu bisa meluas ke areal perusahaan hingga bisa merusak kontur tanah dan tanaman sawit.

“Perusahaan-perusahaan saja sampai membuat tower kebakaran untuk peristiwa ini terjadi. Kita akan berpikir siapapun yang membakar lahan gambut pada sawit yang sudah berusia 2-3 tahun, itu usianya sudah besar,” tamba dia.

Menurutnya, kebakaran lahan bisa saja terjadi pada hamparan luas yang tidak terhalang benda apapun sehingga memungkinkan titik api menyebar ke lahan lain yang bersuhu tinggi dan tekanan udaranya berat. Alhasil, udara itu bisa mendorong titik api ke wilayah yang lebih luas dan mudah terbakar. (Ferrika Lukmana)

(Selengkapnya baca Majalah SAWIT INDONESIA Edisi 15 Desember 2016-15 Januari 2017)



[ Back ] [ Print Friendly ]