Home | Sitemap | Login

   

Peatland News

Title: Greenpeace: Pemanfaatan Sawit Untuk Biofuel Tidak Tepat
Date: 24-Jan-2018
Category: Plantations on peat
Source/Author: Gatranews
Description: Organisasi lingkungan, Greenpeace Indonesia menyayangkan kebijakan pemerintah yang memberikan insentif kepada sejumlah perusahaan di industri bahan bakar nabati (biofuel).

Jakarta, Gatra.com - Organisasi lingkungan, Greenpeace Indonesia menyayangkan kebijakan pemerintah yang memberikan insentif kepada sejumlah perusahaan di industri bahan bakar nabati (biofuel). Sepanjang Januari-September 2017, ada lima perusahaan sawit besar yang mendapatkan kucuran dana sekitar Rp 7,5 trilyun melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga pernah mencermati hal ini dan mendapatkan empat perusahaan menyerap 81,8% dana subsidi mandatori biodiesel. Berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan serta dua peraturan turunannya, dana yang dihimpun dari pelaku usaha perkebunan bukanlah semata untuk pengembangan biodiesel.


Dana tersebut seharusnya juga disalurkan untuk pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi perkebunan, dan peremajaan. Akan tetapi, penggunaan dana BPDPKS justru sangat besar untuk biodiesel, di mana berdasarkan kajian KPK, alokasi dana untuk biodiesel mencapai 89%.

Sementara porsi untuk penelitian dan pengembangan, juga peremajaan sangat kecil. Selain itu, KPK juga menyoroti soal verifikasi hasil ekspor CPO dan produk turunannya yang menjadi dasar perhitungan dana pungutan, yang belum berjalan dengan baik

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Asep Komarudin mengatakan, dana tersebut seharusnya fokus digunakan untuk penelitian, pengembangan dan peremajaan supaya bisa meningkatkan kualitas dan kapasitas perkebunan sawit yang sudah ada, sehingga tidak perlu ada lagi pembukaan lahan sawit di lahan gambut atau di kawasan hutan.

"Pasalnya, pembukaan lahan sawit kerap menjadi faktor penyebab bencana kebakaran hutan dan lahan gambut," ujar Asep dalam keterangan tertulis, Rabu (23/1).

Asep menegaskan, kebijakan pemerintah ini terlihat semakin buruk bila melihat kondisi ketahanan pangan di banyak masyarakat miskin yang hidup di sekitar hutan masih sangat memprihatinkan. Salah satu contoh nyata, kejadian luar biasa gizi buruk yang sekarang terjadi di Asmat, Papua. Salah satu faktor penyebabnya adalah lemahnya ketahanan pangan masyarakat.

"Kami berpandangan konversi lahan dan sistem subsidinya untuk penyediaan biofuel tidaklah tepat. Seharusnya subsidi sebesar itu bisa digunakan untuk ketahanan pangan atau bahkan menjawab kebutuhan petani sawit mandiri," ujar Asep.

Seperti diketahui, lima perusahaan sawit yaitu Wilmar Group, Darmex Agro Group, Musim Mas, First Resources, dan Louis Dreyfus Company (LDC) mendapatkan subsidi sebesar Rp 7,5 trilyun. Dana terbesar diterima Wilmar Group yaitu mencapai Rp 4,16 trilyun. Hal ini dinilai tak adil karena setoran dana pengelolaan sawit perusahaan tersebut hanya senilai Rp 1,32 trilyun.

Selebihnya, Darmex Agro Group menerima subsidi Rp 915 milyar, dengan setoran Rp 27,58 milyar. Musim Mas menerima subsidi Rp 1,54 trilyun dengan setoran Rp 1,11 trilyun, First Resources menerima subsidi Rp 479 milyar dengan setoran Rp 86,95 milyar. Terakhir LDC mendapatkan subsidi sebesar Rp 410 milyar, degan setoran sebesar Rp 100,30 milyar.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit yang diteken oleh Presiden Jokowi itu, diatur tentang penggunaan dana tersebut. Pada Pasal 11 Ayat (1) menyatakan, bahwa dana yang dihimpun adalah untuk pengembangan sumber daya manusia; penelitian dan pengembangan perkebunan sawit; promosi perkebunan kelapa sawit; peremajaan tanaman perkebunan; serta prasarana perkebunan sawit.

Sedangkan pada Ayat (2) dijelaskan, bahwa penggunaan dana itu juga dipakai untuk kebutuhan pangan, hilirisasi industri dan pemanfaatan bahan bakar nabati jenis biodiesel. Ayat selanjutnya menyatakan BPDPKS dapat menentukan prioritas penggunaan dana berdasarkan program pemerintah dan kebijakan Komite Pengarah.

Terkait hal tersebut, kajian soal sawit milik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2016, menemukan bahwa penggunaan dana yang berlebihan bagi perusahaan biodiesel bisa menimbulkan ketimpangan dalam pengembangan usaha perkebunan sawit. BPDPKS pada 2015 menyatakan, penggunaan dana terbesar masih dialokasikan untuk biodiesel, yakni mencapai 89%.

Sedangkan untuk peremajaan sawit, pengembangan SDM hingga perencanaan-pengelolaan masing-masing hanya 1%. BPDPKS sendiri dibentuk dalam wujud Badan Layanan Umum sejak 11 Juni 2015 di bawah kendali Kementerian Keuangan. Badan tersebut didirikan untuk mendukung program pengembangan kelapa sawit berkelanjutan.

KPK dalam Kajian Sistem Pengelolaan Komoditas Kelapa Sawit Tahun 2016, dengan mengolah data BPDPKS, menemukan bahwa sekitar 81,8% biaya subsidi mandatori biodiesel diserap oleh empat perusahaan yaitu PT Wilmar Nabati Indonesia (Rp 1,02 trilyun), PT Wilmar Bioenergi Indonesia (Rp 779 milyar), PT Musim Mas (Rp 534 milyar), dan PT Darmex Biofuel (Rp 330 milyar).



[ Back ] [ Print Friendly ]